Mengenal Gangguan Depresi Pada Remaja

18 Desember 2020
Administrator
Dibaca 45 Kali

Depresi merupakan penyakit yang cukup mengganggu kehidupan. Saat ini diperkirakan ratusan juta jiwa penduduk di dunia menderita depresi. Depresi dapat terjadi pada semua usia termasuk remaja. Gangguan depresi ini dapat menimbulkan penderitaan yang berat. Depresi menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat. Biaya pengobatannya sangat besar dan bila tidak diobati dapat terjadi hal yang sangat buruk karena dapat menimbulkan gangguan serius dalam fungsi sosial, kualitas hidup penderita, hingga kematian karena bunuh diri.

Istilah depresi pertama kalii dikenalkan oleh Meyer (1905) untuk menggambarkan suatu penyakit jiwa dengan gejala utama sedih, yang disertai gejala-gejala psikologis lainnya, gangguan somatik (fisik) maupun gangguan psikomotor dalam kurun waktu tertentu dan digolongkan ke dalam gangguan afektif.

Anak remaja yang mengalami gangguan depresi akan menunjukkan gejala-gejala seperti perasaan sedih yang berkepanjangan, suka menyendiri, sering melamun di dalam kelas/di rumah, kurang nafsu makan atau makan berlebihan, sulit tidur atau tidur berlebihan, merasa lelah, lesu atau kurang bertenaga, serasa rendah diri, sulit konsentrasi dan sulit mengambil keputusan. Selain itu merasa putus asa, gairah belajar berkurang, tidak ada inisiatif, hipo atau hiperaktif. Anak remaja dengan gejala-gejala depresi akan memperlihatkan kreativitas, inisiatif dan motivasi belajar yang menurun, sehingga akan menimbulkan kesulitan belajar sehingga membuat prestasi belajar anak menurun dari hari ke hari.

Dengan demikian, depresi harus dibedakan dengan kesedihan biasa, karena depresi adalah salah satu gangguan jiwa sedangka kesedihan adalah fenomena sosial yang dapat dialami oleh setiap manusia. Dua hal itu dapat dibedakan secara kuantitatif. Pada depresi, episode lebih lama, gejala lebih intensif dibandingkan dengan kesedihan biasa. Pada depresi faktor presipitasi tidak sejelas pada kesedihan biasa dan kualitas gejala depresi ada yang khusus seperti halusinasi dan pikiran bunuh diri yang tidak terdapat pada kesedihan biasa.

Menurut I Gusti Ayu Endah Ardjana (dalam Soetjiningsih, 2004) depresi yang nyata menunjukkan trias gejala, yaitu:

Tertekannya perasaan dapat dirasakan penderita, dilaporkan secara verbal, dapat pula diekspresikan dalam bentuk roman muka yang sedih, tidak mengindahkan dirinya, mudah menangis dan sebagainya.

Kesulitan berpikir nampak dalam reaksi verbalnya yang lambat, sedikit sekali bicara dan penderita menyatakan  dengan tegas bahwa proses berpikirnya menjadi lambat.

Kelambatan psikomotor merupakan gejala yang dapat dinilai secara obyektif oleh pengamat dan juga dirasakan oleh penderita. Misalnya mudah lelah, kurang antusias, kurang energi, ragu-ragu, keluhan somatik yang yang tak menentu.

Depresi yang nyata dapat dilihat pada anak usia lebih 10 tahun terutama apada usia remaja, di mana superego, kemampuan verbal, kognitif dan kemampuan menyatakan perasaannya sudah berkembang lebih matang sehingga gejala depresi pada usia ini mirip dengan gejala depresi pada orang dewasa. Pada usia lebih dari 10 tahun, penggunaan proses berpikir secara realistik makin berkembang, penggunaan fantasi sebagai alat pelarian makin hilang, sudah tidak menggunakan mekanisme pembelaan yang primitif dan makin berkembangnya suara hati nurani (superego) yang akan memperhebat perasaan bersalah dan rendah diri.

Berdasarkan penelitian, semakin meningkat usia anak maka angka kejadian depresinya makin meningkat. Dari data penelitian di Amerika, didapatkan gejala depresi pada remaja umur 11-13 tahun (remaja awal) lebih ringan secara bermakna dibandingkan dengan gejala depresi pada umur 14 tahun (remaja menengah) dan umur 17-18 tahun (remaja akhir). Remaja awal dengan gejala depresi lebih sering mengeluh dirinya kurang menarik dan ingin berat badannya turun dari pada remaja akhir. Remaja dengan sosio-ekonomi lebih rendah, lebih berat gejala depresinya daripada remaja dengan sosio ekonomi yang lebih tinggi.

Walaupun depresi sudah dikenal sejak beberapa abad yang lalu, penyebabnya belum diketahui secara pasti. Penelitian untuk mengetahui mekanisme terjadinya sudah cukup banyak dilakukan, baik dalam bidang genetik, pencitraan otak, kimia otak, atau psikodinamika, namun hasilnya belum memberikan kepastian.

Meskipun penyebab depresi remaja tidak diketahui secara lengkap, namun telah diajukan sejumlah teori penting yang dapat digunakan sebagai gambaran sebagai faktor penyebab depresi.  Setidaknya ada lima faktor yang dapat diketahui sebagai faktor penyebab depresi, yaitu:

Pertama, faktor psikologis. Menurut teori Psikoanalitik (Freud, 1917) dan Psikodinamik (Abraham, 1927) depresi disebabkan karena kehilangan obyek cinta, kemudian individu mengadakan introyeksi yang ambivalen dari obyek cinta tersebut atau rasa marah diarahkan pada diri sendiri. Sementara  Beck (1974) dengan model cognitive-behavioral nya menyatakan bahwa depresi terjadi karena pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interpretasi yang negatif terhadap pengalaman hidup dan harapan yang negatif terhadap diri sendiri dan  masa depan. Ketiga pandangan ini menyebabkan timbulnya depresi, rasa tidak berdaya dan putus asa.  Penyebab depresi apada anak usia remaja mirip dengan orang dewasa, biasanya karena triad cognitive yaitu: perasaan tidak berharga (worthlessness), tidak ada yang menolong dirinya sendiri (helplessness), dan tidak ada harapan (hopelessness). Sedangkan menurut teori belajar “merasa tidak berdaya” (learned helplessness model) dari Seligman (1975) depresi terjadi bila seorang individu mengalami suatu peristiwa yang tidak dapat dikendalikannya, kemudian merasa tidak mampu pula menguasai masa depan.

Kedua, faktor biologis. Faktor ini terdiri atas faktor neuro-kimia dan neuro-endokrin.  Faktor neurokimia, yaitu mono-amine neurotransmitters, kekurangan zat ini bisa menyebabkan timbulnya depresi. Faktor neuro-endokrin bisa berasal dari terjadinya disfungsi dalam sistem penyaluran rangsang dari hipotalamus ke hipofise dan target organ lain, gangguan ritme biologis, meningkatnya kardar hormon pertumbuhan secara berlebihan serta gangguan tiroid.

Ketiga, faktor neuro-imunologis. Pada orang dewasa sering ditemukan gangguan dalam bidang imunologis sehingga lebih mudah terjadi infeksi pada susunan syaraf pusat. Kemungkinan lain adalah bahwa zat-zat imunologis tersebut terlalu aktif sehingga menimbulkan kerusakan pada susunan saraf pusat. Hal ini sangat jarang terjadi pada anak dan remaja.

Keempat, faktor genetik. Depresi bisa disebabkan oleh faktor keturunan. Resiko untuk terjadinya depresi meningkat antara 20 – 40 % untuk keluarga keturunan pertama. Dapat dikatakan bahwa anak-anak dari orangtua yang depresi psikotik dan depresi non-psikotik terdapat insiden yang tinggi dari gejala depresi ini. Memiliki satu orangtua yang mengalami depresi, meningkatkan resiko dua kali pada keturunannya. Resiko itu meningkat menjadi empat kali bila kedua orangtuanya sama-sama mengalami depresi.

Kelima, faktor psikososial. Anak remaja dalam lingkungan keluarga  yang broken home, jumlah saudara banyak, status ekonomi orangtua rendah, pemisahan orangtua dengan karena meningggal atau perceraian serta buruknya fungsi keluarga, merupakan faktor psikososial yang dapat menyebabkan anak remaja mengalami depresi.

Depresi berdasarkan karakteristiknya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam:

Depresi akut mempunyai ciri-ciri: manifestasi gejala depresi jelas (nyata), ada trauma psikologis berat yang mendadak sebelum timbulnya gejala depresi, lamanya gejala hanya dalam waktu singkat, secara relatif mempunyai adaptasi dan fungsi ego yang baik sebelum sakit dan tidak ada psikopatologi yang berat dalam anggota keluarganya yang terdekat.

Depresi kronik mempunyai ciri-ciri: gejala depresi jelas (nyata) tetapi tidak ada faktor pencetus yang mendadak, gejalanya dalam waktu lebih lama dari pada depresi akut. Ada gangguan dalam penyesuaian diri sosial dan emosional sebelum sakit, biasanya dalam bentuk kepribadian yang kaku, ada riwayat gangguan afektif pada anggota keluarga terdekat.

Gejala depresi tak jelas tetapi menunjukkan gejala lain misalnya; hiperaktif, tingkah laku agresif, psikosomatik, dan sebagainya.

Gejala-gejala yang tampak pada penderita depresi menurut Pedoman Penggolongan dan Dianognis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dibedakan atas gejala utama dan gejala tambahan. Gejala utama terdiri atas: (1) Suasana perasaan yang tertekan sepanjang hari; (2) Kehilangan minat dan gairah pada hampir semua aktivitas, yang dirasakan sepanjang hari; (3) mudah lelah dan menurunnya aktivitas. Sedangkan gejala tambahan terdiri atas: (1) Konsentrasi dan perhatian berkurang; (2)  Harga diri dan rasa percaya diri berkurang; (3) Merasa bersalah dan tidak berguna; (4) Pandangan masa depan suram dan pesimistik; (5) Imsomnia atau hipersomnia; (6) Nafsu makan berkurang; (7) Gagasan dan perbuatan membahayakan diri atau pikiran untuk bunuh diri.

Gejala depresi ini minimal berlangsung dua minggu. Depresi pada remaja sering dominan berkaitan dengan penyimpangan perilaku, penyalahgunaan obat, penyimpangan seksual, keluhan fisik tak khas, dan problema sekolah.

Beberapa pegangan untuk mengetahui apakah pada anak remaja terdapat depresi atau tidak antara lain:

Penanganan depresi pada remaja harus menggunakan konsep elektik-holistik, yaitu penanganan lingkungan, psikoterapi dan medika mentosa.  Psikoterapi terapi yang dapat diberikan adalah terapi keluarga, psikoterapi interpersonal, dan  terapi perilaku kognitif (cognitive behavior theraphty).

Oleh : Drs. Mardiya ,Kepala Bidang Pengendalian Penduduk (Dinas PMD Dalduk dan KB Kabupaten Kulon Progo)

Link artikel : klik disini