Sejarah Desa

06 Maret 2019
Admin
Dibaca 98 Kali

SEJARAH KALURAHAN SENDANGSARI

‘PERENG DAN SERANG’  DALAM LINTASAN SEJARAH PENGASIH.

Pereng-Serang masa Syiwa-Budha ke Mataram Islam.

Dalam proses sejarahnya, wilayah yang sekarang disebut sebagai ‘Desa Sendangsari’ adalah wilayah gabungan dari Kalurahan Pereng dan Serang pada awal paruh kedua abad ke-20. Wilayah ini memiliki warisan peradaban Syiwa-Budha, seperti penemuan dua buah lingga dan yoni di Secang yang —sampai penelitian ini berlangsung— tersimpan di Balé Agung, Wates, Kulon Progo. Dua benda purbakala dengan nomor inventaris E 28 dan E 29[1] tersebut menunjukkan bahwa kawasan Pereng-Serang merupakan sebuah wanua (setingkat desa) kecil yang menunjukkan fakta historis tetang keberadaan peradaban di pinggiran Sungai Serang pada abad ke-7 sampai abad ke-10. Wilayah Pereng-Serang juga memiliki letak geo-politis yang dekat dengan pusat negeri Mataram Syiwa-Budha[2] dan termasuk kawasan yang  ditafsirkan oleh Penaldi sebagai bagian dari perwujudan “Pegunungan Widiya” (Pāndya) di India.[1] Oleh karena itulah, maka kawasan kecil Pereng-Serang merupakan bagian dari titik penting peradaban di antara Sungai Progo dan Bogowonto, yaitu  sebagai  “tempat yang tinggi dan suci” —yang dalam  tradisi śiva giriśa— sebagai tempat bersemayamnya para dewa.[2]

Selain sebagai bagian dari kawasan Syiwa-Budha, kawasan Pereng-Serang juga mewarisi peradaban Mataram Islam pada periode abad ke-16 sampai abad ke-18. Hal itu salah satunya ditunjukkan dengan adanya situs atau petilasan yang dipercaya oleh masyarakat sebagai ‘petilasan Sunan Geseng atau Cokrojoyo (Tjakrådjåjå).[3]

 

PENGGABUNGAN KALURAHAN PERENG DAN SERANG PASCA KEMERDEKAAN

 Maklumat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta

              Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, disebutkan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX berusaha menata kembali birokrasi pemerintahan desa di wilayah Yogyakarta. Langkah pertamanya adalah mengeluarkan Maklumat No. 7 tahun 1945 tentang pembentukan —Dewan Kalurahan— Perwakilan Rakyat Kalurahan yang mulai berlaku pada tanggal 6 Desember 1945.[2] Tujuan utama dibentuknya Dewan Kalurahan adalah untuk membangun demokrasi atau kedaulatan rakyat . Pada tahun 1945, Sultan Hamengkubuwono IX juga mengadakan peremajaan Panewu Pangreh Praja[3], seperti mantri Pangreh Praja, dan lurah desa pada bulan Desember 1945. Maklumat No. 7 tahun 1945 diganti dengan Maklumat No. 9 tahun 1946 dengan perubahan nama dan daerah kapanewon. [4]

              Bukti keseriusan Sultan Hamengkubuwono IX dalam mereorganisasi peraturan desa yang lebih otonom terlihat ketika dikeluarkannya 4 maklumat secara bersamaan pada tanggal 11 April 1946, yaitu; (1) Maklumat  No.14 tahun 1946  tentang pembentukan majelis permusyawaratan; (2) Maklumat  No. 15 tahun 1946  tentang pemilihan pamong kalurahan; (3) Maklumat  No. 16 tahun 1946  tentang susunan pomong desa, dan (4) Maklumat  No. 17 tahun 1946  tentang pemilihan DPRK.[5]

Lurah beserta perangka desa tersebut kemudian diatur dengan Maklumat No.15 tahun 1946 yang berisi:

“Maklumat No. 15 tahun 1946 ini menegaskan bahwa mereka yang berhak memilih lurah desa dan perangkat desa (pamong kalurahan) ialah segenap kepala somah warganegara laki-laki dan perempuan yang berumur delapan belas tahun dan yang sedikitnya sudah enam bulan menjadi penduduk kalurahan yang bersangkutan. Penyelenggaran pemilihan adalah komisi pilihan yang terdiri atas badan eksekutif kapanewon (untuk sementara KNI Kapanewon bersama-sama Panewu Pamong Praja) di bawah pimpinan bupati yang bersangkutan atau wakilnya. Orang yang berhak dipilih menjadi pamong kalurahan ialah warga negara laki-laki yang telah berumur  dua puluh tahun ke atas, dapat membaca dan menulis huruf latin dan telah enam bulan menjadi penduduk kalurahan. Pamong kalurahan dipilih untuk tiga tahun dan dapat dipilih lagi”.[6]

 

  1. Penggabungan Kalurahan Pereng dan Serang, 1947.

 

Pasca kemerdekaan, pemerintahan desa terutama pihak eksekutif yang dahulu dikerjakan oleh bekas koti zimu kyoku dan badan-badan yang didirikan oleh Komite Nasional Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta harus masuk dalam Jawatan pemerintah daerah (paniradya).[7] Oleh karena itu, di setiap kalurahan pascatahun 1946 kemudian dihapus tiga badan utama, yaitu: Rapat Desa, Rapat Roekoen-Desa (dahulu rapat aza), dan Dewan-Perwakilan Rakyat.  Hal tersebut berpengaruh pada munculnya Dewan Kalurahan, Majelis Desa —bekerja ketika Dewan Kalurahan terbentuk dan bekerja secara sempurna yang beranggotakan dari semua somah (umur 18 tahun) atau warga yang telah tinggal 6 bulan di wilayah tersebut ditambah dengan anggota dewan dan pamong kalurahan— dan lurah desa, perabot, serta pembantunya.[8] 

PascaMaklumat No. 15 tahun 1946 dikeluarkan  oleh Sultan Hamengkubuwono IX dan  Pangeran Adipati Aryo Paku Alam VIII, maka hampir semua wilayah kalurahan-kalurahan di Yogyakarta kemudian memiliki lurah, pamong, dan pembantunya. Pemilihan lurah dan pamong dalam maklumat No. 15 tahun 1946 memiliki tujuan besar, yaitu:

agar soepaja azas kerakyatan dalam daerah Kami berdoea, teroetama di kaloerahan2 (desa2) jang djadi sendi kekoeatan Negara dapat lebih sempoerna di djalankan, maka kami berdoea, Seri/Ingkeng Sinoewoen Kandjeng Soeltan Hamengkoe Boewono IX dan Seri Padoeka Kandjeng Goesti Pangeran Adipati Arjo Pakoe Alam VIII, Kepala daerah-istimewa Negara Repoeblik Indonesia daerah-Istimewa Jogjakarta, mengadakan atoeran tentang pemilihan Pamong-kaloerahan”.[9]

 

 Kutipan di atas memperlihatkan, bahwa azas kerakyatan dan desa sebagai sendi kekuatan negara menjadi dasar penting dengan adanya pemerintahan desa.  Oleh karena itu, maka dibentuklah pemerintahan kalurahan di wilayah Pereng-Serang. Dapat diketahui bahwa Dewan Kalurahan dan berbagai musyawarah memutuskan untuk menggabungkan dua wilayah besar Kalurahan Pereng dan Kalurahan Serang.[10] Hal itu dipastikan telah dipersiapkan pasca11 April 1946 yang terus dimusyawarahkan sampai akhir tahun 1946 yang didukung oleh Badan Eksekutif Kapanewon Pengasih bersama dengan Panewu Pengasih. Musyawarah tersebut juga membahas perwakilan-perwakilan dari dua wilayah Kalurahan Pereng dan Serang yang ditunjuk untuk membantu kerja ‘Komisi Pilihan’ yang terdiri dari Badan Eksekutif Kapanewon dan Panewu Pengasih yaitu Projosularjo.[11] Mereka kemudian memusyawarahkan berbagai hal, seperti pemilihan lurah gabungan yang mewakili dua wilayah Kalurahan Pereng dan Serang, nama kalurahan baru, serta yang berhubungan dengan teknis pemilihan, seperti penentuan lokasi, waktu, dan pendaftaran (pengajuan) calon lurah, serta pamong.  Dari informan didapatkan informasi beberapa perwakilan pedukuhan yang membantu ‘Komisi Pilihan’ di atas, antara lain: Poncodiharjo dari Pereng, Karsowiyono (alias Karsohulu) dari Paingan, Pawirosumpeno dari Paingan, Kartodiwiryo (alias Yahman) dari Serang, dan Joyopawiro (Joyo Ngesong) dari Gegunung.

Dari data berjudul Daftar Aparat Perangkat & Lungguh diketahui bahwa pilihan lurah untuk kalurahan baru gabungan Pereng dan Serang terjadi pada hari Rabu Pon, 1 Januari 1947.[12] Tentang lokasi tepatnya terdapat perbedaan pendapat, yaitu hampir beberapa narasumber menyatakan bahwa pemilihan lurah (1947) dilakukan di pendopo Clereng atau lokasi rumah lurah Pereng (R. Purwotaruno), namun ada yang menyebutkan juga dilakukan di lokasi rumah Moeldjosardjono di Serang.[13] Walaupun begitu, dapat dipastikan bahwa pilihan dilakukan di wilayah Kalurahan Serang. Pemilihan tempat tersebut beralasan bahwa Pedukuhan Serang posisinya berada di tengah-tengah antara Kalurahan Pereng dan Serang.[14] Peserta pemilihan lurah —sesuai seruan Maklumat No. 15 tahun 1946— adalah seluruh warga di wilayah Kalurahan Serang dan Pereng yang telah berusia 18 tahun. Mereka adalah segenap kepala somah warga negara laki-laki dan perempuan, serta yang memiliki status sebagai ‘warga desa’ yang telah tinggal atau bermukim di Kalurahan Pereng dan Serang minimal selama enam bulan.[15]

 

Gambar 3.1 . Pendopo Clereng.

 

              Pemilihan lurah dilakukan mulai jam 08.00 wib sampai jam 14.00 wib[16] dengan model bitingan (lidi atau tulang daun kelapa untuk bahan sapu).  Model pilihan bitingan adalah ketika pemilih menggunakan lidi daun kelapa yang sudah disiapkan oleh komisi pemilihan dan memasukkanya ke dalam bumbung (potongan ruas bambu).[17] Menurut pendapat lain disebutkan bahwa pilihan lurah gabungan 1947 di Serang disebutkan tidak memakai bumbung, namun menggunakan besek (anyaman bambu untuk wadah makanan). Peserta mengambil biting sebagai bukti suara dukungan atau pilihan mereka masing-masing. Bagi masyarakat yang buta aksara latin, maka mereka dibantu secara langsung oleh komisi pemilihan untuk memasukan biting tersebut ke dalam tempat yang disediakan sesuai pilihannya.[18]

 Calon lurah baru yang mengajukan pendaftaran ke Komisi Pemilihan sampai akhir bulan Desember 1946 dari sekian banyak masyarakat Kalurahan Pereng dan Serang dapat disebutkan terdapat beberapa kontestan,[19] yaitu:

  1. Moeldjosardjono, jagabaya dari Kalurahan Serang.
  2. Purwotaruno, lurah Pereng.

Dua nama bakal calon lurah di atas merupakan nama-nama yang paling banyak disebut oleh narasumber, kecuali terdapat perbedaan munculnya nama R. Sukarno dan R. Purwotaruno (ayah R. Sukarno). Dari keterangan hampir seluruh narasumber disebutkan bahwa Lurah Pereng yaitu R. Purwotaruno tidak mengikuti pilihan lurah pada masa gabungan tahun 1947 karena usianya yang sudah lanjut.  Hal itu juga sama dengan Lurah Serang yaitu Setropawiro yang tidak mengikuti pilihan lurah tahun 1947 karena usia yang sudah lanjut.[20] Selama pemilihan lurah berlangsung, para calon lurah yang akan dipilih dipersilakan oleh komisi pilihan untuk  duduk di kursi kayu (dingklik). Dengan hal tersebut, maka para pemilih dan para pendukungnya dapat melihat secara langsung calon-calon yang akan dipilih.[21]

Setelah pemilihan suara selesai dilakukan pada siang hari,  suara terbanyak hasil pilihan dari masyarakat Serang dan Pereng akhirnya dimenangkan oleh Moeldjosardjono. Oleh karena itu, maka Moeldjosardjono akhirnya terpilih menjadi lurah pertama gabungan antara Kalurahan Serang dan Pereng tahun 1947. Nama kalurahan yang baru pasca gabungan adalah ‘Sendangsari’[22] yang identik dengan istilah kata sendang —terutama keberadaan Sêndang Clêréng— yang menurut salah satu sumber lisan muncul dari ide Moeldjosardjono.[23] Moeldjosardjono kemudian secara syah diakui sebagai lurah pertama Desa Sendangsari setelah turunnya Surat Keputusan Pengangkatan dari Bagian Pamong Praja Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 23 September 1947, yaitu Surat Keputusan No. 148/D/Pamong Praja Tanggal 23 September 1947.[24]

Selain pemilihan lurah, satu bulan kemudian juga diadakan pilihan  pamong desa pada tanggal 1 Februari 1947 untuk memilih Kepala Bagian Umum atau carik desa dan Kepala Bagian Keamanan atau Jagabaya. Pemilihan tersebut dimenangkan oleh R. Tirtoraharjo sebagai Kepala Bagian Umum (carik desa) dan langsung mendapat Surat Keputusan No. 03/Kabupaten Tanggal 1 Februari 1947. Sementara untuk jabatan Kepala Bagian Keamanan (jagabaya) terpilih nama Poncowiyono yang juga langsung mendapat Surat Keputusan No. 37/Kabupaten Tanggal 1 Februari 1947.[25]

Sampai dengan turunnya surat pengangkatan Lurah Sendangsari pada September 1947, terjadi pemilihan pamong yaitu  pembantu keamanan pada 1 Maret 1947. Pemilihan itu berhasil memilih nama Pawirosumpeno[26] yang bertugas sebagai pembantu jagabaya dengan Surat Keputusan No. II/pemkal tanggal 12 Maret 1947. Selain pembantu keamanan, pemilihan 1 Maret 1947 juga berhasil memilih Kartowiyono sebagai pembantu kemakmuran yang ditetapkan dengan Surat Keputusan No. II/pemkal, tanggal 12 Maret 1947.[27]

Pilihan pamong Kalurahan Sendangsari selanjutnya adalah pemilihan dukuh-dukuh pada tanggal 25 Maret 1947 yang memilih, antara lain: (1) Martowiyono menjadi Kepala Dukuh di Paingan dengan Surat Keputusan No. X/pemkal tanggal 25 Maret 1947;(2) Martoutomo menjadi Kepala Dukuh di Serang (Surat Keputusan No. IX/pemkal tanggal 25 Maret 1947);dan (3) Poncodiharjo[28] menjadi dukuh di Pereng (Surat Keputusan No. VI/pemkal tanggal 25 Maret 1947). Beberapa perangkat desa lainnya, pada umumnya diangkat pascatahun 1947 terutama setelah munculnya Surat Keputusan resmi dari bagian Pamong Praja untuk Lurah Moeldjosardjono.[29]

 

[1] Makloemat No. 10.- Negeri kasoeltanan Jogjakarta dan Prodjo Pakoe-Alaman daerah-Istimewa Negara Repoeblik Indonesia.-.

[2] Sutrisno Kutoyo, Sri Sultan Hamengkubuwano IX: Riwayat Hidup dan Perjuangan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm. 121.

[3] Pangreh Praja adalah wakil pemerintah jajahan dalam melaksanakan pemerintah terhadap rakyat di daerah ketika rakyat tidak dapat berpendapat  dan memiliki kekuasaan. Oleh karena itu Pangreh Praja kemudian diganti dengan istilah baru yaitu pamong praja agar kenangan masyarakat atas arti jajahan menjadi hilang. Lihat R.W. Prodjosoegardo, Buku Pegangan Pamong Pradja Daerah Istimewa  Jogkjakarta, (Jogjakarta: Djawatan Pradja Daerah Istimewa Jogjakarta, 1950), hlm. 205.

[4] Ibid, hlm. 213.

[5] Tim Lapera, “Adu Siasat ‘Negara’ versus ‘Rakyat’: Otonomi, Desa dan Demokrasi:Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif  V (2000), hlm.  131.

[6] Pasal 1 dan 2 serta Pasal 3 (ayat 1 dan 2) dalam Maklumat No. 15 tahun 1946. Dalam ibid, hlm. 268.

[7] Pasal 1 dalam Makloemat No. 11.- Negeri kasoeltanan Jogjakarta dan Prodjo Pakoe-Alaman daerah-Istimewa Negara Repoeblik Indonesia.-.

[8] Tugas Majelis Desa adalah (1) mendorong Dewan Kalurahan kearah perwakilan yang sempurna; (2) mengamati peraturan dan pekerjaan Dewan Kalurahan; dan (3) mengabsahkan peraturan tentang hak tanah dan urusan pertanahan yang dibuat oleh dewan Kalurahan. Lihat Makloemat No. 14.- Negeri kasoeltanan Jogjakarta dan Prodjo Pakoe-Alaman daerah-Istimewa Negara Repoeblik Indonesia.-.

[9] Makloemat No.15 Pemilihan pamong-kaloerahan Daerah- Istimewa Negara Republik Indonesia Jogjakarta Tanggal (Djoemadilawal Djimawal 1877 Atau 11-4-1946.

[10] Dari berbagai informasi dari informan (sêsêpuh Desa Sendangsari) diketahui penggabungan dilakukan karena adanya pemerintahan otonom. Hal itu menandakan bahwa hal tersebut sudah diatur oleh kekuasaan di atas lurah sehingga lurah dan masyarakatnya tinggal mengikuti dan menjalankan maklumat tersebut. 

[11] Komisi Pilihan atau Komisi Pemilihan yang  sebuah badan terdiri dari Badan Eksekutif Kapanewon (K.N.I. Kapanewon) bersama dengan Panewu Pamong Praja) yang bekerja di bawah koordinasi bupati. Lihat Makloemat No.15 tahun 1946 pasal 2 ayat 1;Wawancara dengan Sajuri 10 Januari 2020.

[12] Berbeda dari sumber di atas, menurut ingatan Cokroatmojo pemilihan lurah gabungan Pereng-Serang diadakan pada hari ‘Jumat Pahing’. Wawancara dengan Cokroatmojo, 6 November 2019.  

[13] Tentang pendapat pemilihan lurah berada di rumah Moeldjosardjono (atau disebut gilingan) disebutkan oleh Cokroatmojo (6 November 2019), sementara yang menyatakan di Pendopo Clereng diungkapkan oleh Sabar (1 Januari 2020), R. Harjono (3 Januari 2020), R. Yuliaji (13 Januari 2020), dan R. Heriyono (13 Januari 2020).

[14] Menurut bahwa lokasi yang dimaksudkan untuk pilihan lurah gabungan itu ada di lokasi yang kemudian didirikan rumah untuk penggilingan padi milik Kamiso di Serang. Wawancara dengan Marsudiutomo, 2 Januari 2020; Wawancara dengan Cokroatmojo, 6 November 2019.

[15] Belum diketahui tentang jumlah pemilih di Kalurahan Serang dan Pereng, namun proses pemilihan dapat dipastikan dihadiri lebih dari separuh jumlah seluruh warga gabungan dari Kalurahan Pereng dan Serang sesuai Pasal 1 ayat 2 pada Maklumat No. 15 Tahun 1946.

[16] Cokroatmojo menyatakan bahwa pilihan lurah pada Jum’at pahing tersebut tidak terganggu oleh hujan, angin rebut, maupun gangguan keamanan lainnya. Wawancara dengan Cokroatmojo, 6 November 2019. Dalam keterangan R. Harjono disebutkan bahwa model pilihan pertama kali lurah tersebut dengan model ‘acungan’, bukan bitingan. Wawancara dengan R. Harjono, 3 Januari 2020.

[17] Wawancara dengan Cokroatmojo, 6 November 2019

[18] Ibid. Dalam keterangan berbeda disebutkan oleh R. Harjono bahwa pilihan bukan menggunakan model bitingan, namun dengan model ‘acungan’ untuk mendapatkan suara terbanyak. 

[19] Dari berbagai narasumber disebutkan bahwa R. Purwotaruno ikut pilihan lurah gabungan tahun 1947. Hal itu diungkapkan oleh R. Harjono (3 Januari 2020) dan R. Wahyudi (13 Januari 2020). Berbeda pendapat dengan kedua narasumber di atas, menurut Sajuri disebutkan bahwa R. Purwotaruno tidak ikut dalam pemilihan lurah tersebut, namun diwakilkan oleh anaknya yang bernama R. Sukarno —yang menjadi carik Kalurahan Pereng— sebelum penggabungan antara Kalurahan Pereng dan Serang. Wawancara dengan Sajuri, 5 November 2019. Berbeda lagi dengan pendapat Cokroatmojo yang menyatakan bahwa lawan dari Moeldjosardjono adalah Atmowijono (alias Syarif) —lahir di Kroco— tinggal di Serang. Wawancara dengan Cokroatmojo, 5 November 2019.

[20] Beberapa narasumber lisan menyatakan bahwa R. Purwotaruno tidak mengikuti pilihan lurah tahun 1947 dan seluruh narasumber menyatakan bahwa Setropawiro juga tidak mengikuti pilihan lurah gabungan 1947.

[manan dari Giriyono), dan Siswomaryono (bagian kaum pokok dari Serang). Wawancara dengan Cokroatmojo, 6 November 2019.