Joglo Cokro Manggilingan menjadi Icon baru di Kroco

19 September 2019
Administrator
Dibaca 165 Kali

Sendangsari (19/09/19) Pedukuhan Kroco, pada malam hari ini Rabu, 19 September 2019, seluruh warga RT 18 Pedukuhan Kroco Desa Sendangsari berkumpul menjadi satu, tua, muda, remaja, bahkan anak-anak kompak bersama dalam acara peresmian Joglo budaya. Acara peresmian ini di isi dengan serangkaian adat tradisi syukuran pendirian bangunan dengan ditandai pemotongan tumpeng. Sebagai tanda peresmian joglo dilaksanakan pemotongan tumpeng oleh Bapak Dukuh Kroco yang kemudian diserahkan Kepada Bapak Ketua RT 18. Kini Joglo tersebut telah resmi menjadi milik masyarakat RT 18. Berdasarkan kesepakan seluruh warga RT 18 diberi nama "COKRO MANGGILINGAN" dimana Cokro sendiri merupakan asal mula nama Kroco dan Manggilingan artinya “owah-owahan” atau perubahan, dengan maksud dengan berdirinya bangunan joglo ini dapat membawa perubahan yang lebih baik lagi untuk RT 18 dan Pedukuhan Kroco tentunya untuk mendukung adanya Wisata Edukasi Bantala Abyudaya Kroco.

Slamet Supriyono selaku Dukuh Kroco sangat mengapresiasi pendirian Joglo yang ada di RT 18 yang dibangun swadaya masyarakat secara gotong royong, kearifan lokal seperti ini yang perlu dicontoh dan perlu dipertahankan.

Tokoh masyarakat sepakat memberi nama Joglo baru yang tereletak di Jalan Pengasih-Sermo, Kroco RT 18 dengan nama Cokro Manggilingan. Tandas Sagimin selaku sesepuh menjelaskan “Cokro Manggilingan” sebuah filsafat Jawa yang sangat dalam maknanya untuk mencapai ketentraman lahir dan batin. Secara fisik, Cokro (cakra) itu merupakan sebentuk lempengan bulat bergerigi dan tajam seperti ujung pada panah para Pandhawa atau juga kelengkapan senjata tokoh wayang raja Darawati “Sri Bathara Kresna”. Sementara Manggilingan itu sendiri bermakna berputar atau perputaran. Cokro Manggilingan ini menganalisa siklus hidup manusia, perputaran masa, serta peralihan nasib manusia yang sangat sulit diprediksi ".

Beliau juga menyampaikan bahwa hidup ini laksana Cokro yang berputar. Ia akan terus berputar dan hanya akan terhenti apabila ada kehendak dari Tuhan. Terkadang kita akan berada di bawah sehingga harus bersabar dan tawakal. Tapi percayalah, pada saat yang tepat dengan usaha dan doa, bisa naik ke tengah atau samping. Perputaran waktu dan nasib juga memungkinkan orang yang berada di tengah dapat naik ke puncak. Akan tetapi, waspadalah bila sudah di puncak, manusia setelah mendapat “lebih” sering kali lupa diri, “aku” nya makin tinggi. Jangan sekali-kali merasa kuasa hingga lupa diri dan takabur. Itu sebabnya para pinisepuh yang bijak menambahkan nasehat: aja sok adigang-adigung-adiguna. Singkatnya: jangan sok, mentang- mentang berkuasa lalu berbuat semaunya, lebih-lebih mematikan rasa. Bila rasa dinihilkan, muncul sikap sok berkuasa, dan akhirnya lahir tingkah laku yang tidak terkontrol (pethakilan). Kalau sudah sampai taraf pethakilan, tinggal tunggu waktu kapan dirinya terjerembab oleh tingkahnya sendiri. (S-Dw)