Evaluasi Perkembangan Desa

25 Desember 2019
Administrator
Dibaca 42 Kali

Maju desanya, makmur dan sejahtera warganya, -- barangkali itu cita-cita dan ekspetasi  yang menjadi dambaan banyak orang dengan digelontorkannya  dana desa begitu diberlakukan Undang-Undang 6 Tahun 2014 tentang Desa. Harapan itu wajar dan seharusnya memang begitu, saat ini desa memiliki kewenangan yang luas sejak perencanaan, pelaksanaan, pengendalian  dan pertanggungjawaban pembangunan di desa,  baik kewenangan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa maupun kewenangan penugasan dari pemerintah di atasnya. Sumber pembiayaan pembangunan dalam APBDes juga bervariasi mulai Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD), Bagi Hasil Pajak dan Retribusi (BHP BHR), Pendapatan Asli Desa (PADes) bahkan bantuan keuangan kegiatan (BKK).

Secara kasat mata implikasi dengan penerapan UU 6 Tahun  2014 memang  sangat terlihat dan dapat dirasakan langsung kegiatan pembangunan desa semakin banyak volume dan jumlahnya, setidak-tidaknya karena anggaran yang dikelola dalam APBDES naik fantastis, semakin besar dibanding dengan kondisi sebelum tahun 2015. Namun tentu kemajuan desa tidak hanya diukur oleh banyaknya kegiatan pembangunan yang dikelola desanya. Namun ada indikator dan ukuran keberhasilan yang bisa menggambarkan kemajuan dan perkembangan desa. Faktor  ketajaman prioritas, inovasi kegiatan dan kualitas  perencanaan desa akan menentukan secara signifikan kecepatan perkembangan desa. Desa yang didukung oleh kapasitas pemerintah  desa yang  memadai disertai partisipasi masyarakat yang tinggi serta sinergi kelembagaan desa yang mantab, tentu akan membawa kemajuan desa akan semakin cepat. Sebaliknya, kendatipun telah dikucurkan dana desa yang besar, tidak menjamin adanya kemajuan yang cepat manakala tanpa ditopang kapasitas pemerintah desa yang memadai, kerja sama yang baik dengan kelembagaan desa dan dukungan partisipasi masyarakat yang optimal. Singkat cerita, kemajuan dan kemandirian desa sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan pemerintah desa dengan kewenangan desa dan keuangan desanya mampu  berkolaborasi atau kerja sama dengan kelembagaan desa serta dukungan partisipasi masyarakat untuk dapat mengelola potensi desanya meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa, kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya.

Desa didorong agar semakin maju, sehingga semakin kecil  perbedaan  kemajuannya antara kota dengan desa. Apabila perbedaan  kemajuan desa dengan kota tidak jauh beda atau ketimpangannya rendah, maka diharapkan tidak terjadi urbanisasi, atau bahkan justru kembalinya potensi SDM desa dari kota ke desa. Tentu cara ini tidak mudah. Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Butuh kerja keras menyiapkan sistem dan sarana untuk melakukan pembangunan desa. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 menganut  dua pendekatan dalam pembangunan desa   yaitu : “membangun desa dan desa membangun”. Pendekatan  “membangun desa”  merupakan perspektif yang menempatkan kawasan perdesaan sebagai sasaran dan lokus inti pembangunan di satu sisi dan pendekatan “desa membangun” merupakan perspektif yang memposisikan dan memperankan  pemerintah desa dan kelembagaannya sebagai subjek  pembangun dan pemberdaya masyarakat desa disisi yang lain. Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang kemudian diikuti dengan dikucurkannya  pendapatan transfer  dana desa yang besarnya sangat  fantastis, merupakan  salah satu wujud dari komitmen dan kombinasi dua pendekatan tersebut.

Dalam memahami dan memotret perkembangan desa, saat ini pemerintah melakukan pengukuran atau penilaian dengan menggunakan tolok ukur  Indeks Desa Membangun (IDM). IDM  merupakan Indeks Komposit yang dibentuk berdasarkan tiga indeks, yaitu Indeks Ketahanan Sosial, Indeks Ketahanan Ekonomi dan Indeks Ketahanan Ekologi/Lingkungan. Perangkat indikator yang dikembangkan dalam Indeks Desa Membangun dikembangkan berdasarkan konsepsi bahwa untuk menuju Desa maju dan mandiri perlu kerangka kerja pembangunan berkelanjutan di mana aspek sosial, ekonomi, dan ekologi menjadi kekuatan yang saling mengisi dan menjaga potensi serta kemampuan Desa untuk mensejahterakan kehidupan Desa. IDM memotret perkembangan kemandirian Desa berdasarkan implementasi Undang-Undang Desa dengan dukungan Dana Desa serta Pendamping Desa. IDM  mengarahkan ketepatan intervensi dalam kebijakan dengan korelasi intervensi pembangunan yang tepat dari Pemerintah sesuai dengan partisipasi Masyarakat yang berkorelasi dengan karakteristik wilayah Desa yaitu tipologi dan modal sosial.

IDM  mengklasifikasi Desa dalam lima (5) status, yakni: Desa Sangat Tertinggal; Desa Tertinggal; Desa Berkembang; Desa Maju; dan Desa Mandiri. Klasifikasi dalam 5 status Desa tersebut juga untuk menajamkan penetapan status perkembangan Desa dan sekaligus rekomendasi intervensi kebijakan yang diperlukan. Status Desa Tertinggal, misalnya, dijelaskan dalam dua status Desa Tertinggal dan Desa Sangat Tertinggal di mana situasi dan kondisi setiap Desa yang ada di dalamnya membutuhkan pendekatan dan intervensi kebijakan yang berbeda. Menangani Desa Sangat Tertinggal akan berbeda tingkat afirmasi kebijakannya di banding dengan Desa Tertinggal. Indeks Desa Membangun merupakan komposit dari ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi. IDM didasarkan pada 3 (tiga) dimensi tersebut dan dikembangkan lebih lanjut dalam 22 Variabel dan 52 indikator. Berikut ini batasan dan ciri dari ke lima tingkat perkembangan desa, yaitu :

Hasil Perkembangan Desa selama tiga tahun sebagaimana diatas.

Dari tabel tersebut dari tahun ketahun desa yang sangat tertinggal dan desa tertinggal semakin turun dan lepas dari ketertinggalannya. Desa yang maju dari tahun ke tahun semakin bertambah atau meningkat seriring dengan meningkatnya dari desa berkembang, demikian halnya desa yang mandiri juga meningkat. Kondisi ini diharapkan dapat menjadi salah satu tolok ukur dalam menilai tingkat perkembangan desa dari tiga aspek tersebut; aspek ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan ketahanan lingkungan.